Syahdan, ada seorang kiai kampung yang kini usianya sudah lanjut. Sewaktu muda orang-orang dikampungnya tahu bahwa masa muda kiai itu dihabiskannya dalam perjuangan islam. Pada zaman belanda ia dijebloskan ke penjara. Pada zaman Jepang, ia pernah disiksa Kenpetai. Pada zaman orde lama, ia diuber-uber karena dianggap memberontak. Pada zaman orde baru, ia juga masih berurusan dengan Koramil setempat. Hingga sekarang zaman reformasi, barulah ia dapat beristirahat, kecuali pada waktu menjelang pemilu. Dalam usia tuanya ia masih saja sibuk membela partai politik islam.
Seseorang pernah menyarankan kepadanya agar tidak membela ParPol islam lagi, Tetapi ia membentak, “Selama masih ada wadah umat islam, sampai mati saya akan mempertahankan wadah itu. “ Memang terbukti, dikampungnya pemilu dimenangkan oleh Parpol Islam. Jalan aspal dibangun dari jalan raya utama dan berakhir sebelum sampai kekampungnya. Hampir-hampir listrikpun tak sampai kesitu.
Ia pernah berpesan agar jenazahnya dibungkus dengan bendera orsospol Islam yang dibelanya. Sekarang beliau sudah sangat sepuh dan telah dilupakan oleh banyak orang. Kiai kampung ini mencerminkan banyak, bahkan boleh jadi kebanyakan, orang islam yang hatinya terpaut dengan “wadah” islam, tanpa mempersoalkan apa isi wadah itu. Ia bersedia menyembahkan nyawanya untuk partainya itu.
Kepentingan politik siapapun dapat dengan mudah mempengaruhi, bahkan memanipulasi, orang-orang islam seperti dia, hanya dengan simbol-simbol keislaman. Datanglah kepada mereka dengan memakai sorban dan berbicaralah didepannya dengan mengutip ayat-ayat AlQuran dan Hadis. Mereka akan sangat menaruh respek yang sangat luar biasa kepada anda. Sekalipun anda belajar islam secara karbitan.
Ketika Almarhum Nurcholis Madjid berkata “Islam Yes; Partai Islam , No,” banyak rekannya menuding dia sebagai tokoh sekulerisme. Ketika Amien Rais bermaksud mendirikan partai Amanat Nasional, dengan melibatkan pihak non muslim, banyak orang menanyakan kesetiaan Amin rais kepada islam. Ketika Abdurrahman Wahid mau bergabung dengan Megawati, banyak aktivis muslim mengecamnya sebagai opportunisme politik. Ketika awal pendirian PK(Partai Keadilan) banyak ustad kita yang menolak untuk menjadikannya partai politik. Sungguh menarik bukan? bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah tokoh-tokoh Islam dan Ustad kita itu sampai pada kesimpulan yang sama: perjuangan Islam tidak selalu harus mengenakan label-label Islam. Perjuangan islam harus ditujukan untuk mencapai cita-cita islam, seperti keadilan, kesejahtera-an rakyat dan penghormatan kepada kemanusiaan.
Para tokoh itu mengerti bahwa, dalam platform cita-cita islam, tak satu kelompokpun yang keberatan, apapun agamanya.
Bukankah Nabi saw. Memulai perjuangannya dengan mengkritik ketimpangan sosial ekonomi dan mengakhirinya dengan menundukkan semua warga negara pada pemerintahan hukum.?..
Jutaan pengikut para tokoh itu belum sampai kesitu. “Akan datang satu zaman, “ sabda nabi saw, “ ketika tidak tersisa dari islam kecuali lambangnya. Masjid-masjidnya ramai dengan kegiatan, tetapi kosong dari petunjuk. Orang yang paling buruk di zaman itu adalah para ulamanya. Dari mereka fitnah berasal, kepada mereka fitnah itu kembali.”
Wallahu’alam..
Seseorang pernah menyarankan kepadanya agar tidak membela ParPol islam lagi, Tetapi ia membentak, “Selama masih ada wadah umat islam, sampai mati saya akan mempertahankan wadah itu. “ Memang terbukti, dikampungnya pemilu dimenangkan oleh Parpol Islam. Jalan aspal dibangun dari jalan raya utama dan berakhir sebelum sampai kekampungnya. Hampir-hampir listrikpun tak sampai kesitu.
Ia pernah berpesan agar jenazahnya dibungkus dengan bendera orsospol Islam yang dibelanya. Sekarang beliau sudah sangat sepuh dan telah dilupakan oleh banyak orang. Kiai kampung ini mencerminkan banyak, bahkan boleh jadi kebanyakan, orang islam yang hatinya terpaut dengan “wadah” islam, tanpa mempersoalkan apa isi wadah itu. Ia bersedia menyembahkan nyawanya untuk partainya itu.
Kepentingan politik siapapun dapat dengan mudah mempengaruhi, bahkan memanipulasi, orang-orang islam seperti dia, hanya dengan simbol-simbol keislaman. Datanglah kepada mereka dengan memakai sorban dan berbicaralah didepannya dengan mengutip ayat-ayat AlQuran dan Hadis. Mereka akan sangat menaruh respek yang sangat luar biasa kepada anda. Sekalipun anda belajar islam secara karbitan.
Ketika Almarhum Nurcholis Madjid berkata “Islam Yes; Partai Islam , No,” banyak rekannya menuding dia sebagai tokoh sekulerisme. Ketika Amien Rais bermaksud mendirikan partai Amanat Nasional, dengan melibatkan pihak non muslim, banyak orang menanyakan kesetiaan Amin rais kepada islam. Ketika Abdurrahman Wahid mau bergabung dengan Megawati, banyak aktivis muslim mengecamnya sebagai opportunisme politik. Ketika awal pendirian PK(Partai Keadilan) banyak ustad kita yang menolak untuk menjadikannya partai politik. Sungguh menarik bukan? bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah tokoh-tokoh Islam dan Ustad kita itu sampai pada kesimpulan yang sama: perjuangan Islam tidak selalu harus mengenakan label-label Islam. Perjuangan islam harus ditujukan untuk mencapai cita-cita islam, seperti keadilan, kesejahtera-an rakyat dan penghormatan kepada kemanusiaan.
Para tokoh itu mengerti bahwa, dalam platform cita-cita islam, tak satu kelompokpun yang keberatan, apapun agamanya.
Bukankah Nabi saw. Memulai perjuangannya dengan mengkritik ketimpangan sosial ekonomi dan mengakhirinya dengan menundukkan semua warga negara pada pemerintahan hukum.?..
Jutaan pengikut para tokoh itu belum sampai kesitu. “Akan datang satu zaman, “ sabda nabi saw, “ ketika tidak tersisa dari islam kecuali lambangnya. Masjid-masjidnya ramai dengan kegiatan, tetapi kosong dari petunjuk. Orang yang paling buruk di zaman itu adalah para ulamanya. Dari mereka fitnah berasal, kepada mereka fitnah itu kembali.”
Wallahu’alam..
No comments:
Post a Comment